Partisipasi Keluarga Dalam Hidup Menggereja dan Masyarakat

Tujuan utama bagi kamu, yang bergabung dalam hidup bersama adalah untuk hidup secara harmonis dalam rumahmu, seharti dan sejiwa tertuju pada Allah."

(Regula Santo Agustinus Artikel 3 )

Hantaran Kitab Suci

Matius 5 Ayat 13 sampai 16

Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.

 

Renungan

Pada zaman Yesus, garam dianggap sebagai sesuatu yang amat berharga. Tentara Romawi pada zaman itu bahkan menerima upahnya dalam bentuk garam. Kata salary (upah) berasal dari kata Latin salarium yang memiliki akar kata sal = garam.
Fungsi garam tidak hanya memberi rasa pada masakan, namun juga mengawetkan makanan dari kerusakan. Jika Yesus mengatakan bahwa kita adalah garam dunia, itu berarti kita harus memberi rasa kepada dunia yang tawar ini, dan sekaligus mengawetkan/memelihara dunia dari kerusakan. Kedua hal tersebut dilakukan dengan cara mewartakan Kerajaan Allah melalui praksis hidup kita sehari-hari. Yaitu cara hidup yang seyogianya sesuai dengan ajaran Yesus. Sama seperti garam yang memengaruhi rasa pada masakan, demikian juga seharusnya tindakan kita sebagai keluarga kristen. Saat ini, partisipasi konkrit keluarga dalam mengawetkan dunia ialah dengan menjadi keluarga pembawa damai, giat bekerja, jauh dari penyakit sosial seperti perjudian, korupsi, narkoba, pergaulan bebas serta jadi penggerak pemelihara lingkungan hidup yang semakin rusak. Menjaga alam ciptaan dengan tidak sembarangan membuang sampah. Keluarga dapat tampil sebagai penjaga nilai-nilai moral di tengah masyarakat yang semakin bebas, kurang bermoral. Satu lagi dari sifat garam adalah membuat haus. Hal ini berarti bahwa hendaknya kita juga dapat membawa orang menjadi haus untuk mencari Sumber Air Hidup, yaitu Yesus Kristus. Demikianlah keluarga menjadi garam yang berguna, dan bukan menjadi garam yang tawar.


Yesus menginginkan kita pun harus menjadi terang dunia. Terang dapat menghalau kegelapan dan mengungkap hal-hal yang tidak terlihat. Dengan menjadi terang dunia, berarti kita harus dapat memantulkan cahaya dari Kristus untuk menghalau kegelapan hati dan jiwa orang-orang di sekitar kita, dan mengungkap kebenaran di tengah gelapnya dunia yang penuh dengan kepalsuan. Segelap apa pun suatu ruangan, bila ada cahaya bahkan setitik saja, semua orang pasti bisa melihat cahaya itu. Kebaikan dan kebenaran bagaikan terang/cahaya yang harus dimunculkan.
Perintah Yesus sangat jelas. Dengan menjadi garam dan terang dunia, berarti kita harus bertindak sesuai dengan ajaran-Nya, sehingga orang lain dapat merasakan garam dan melihat terang itu. Selain itu, menjadi garam dan terang dunia menuntut adanya interaksi dengan sesama. Garam dan terang hanya dapat berfungsi jika mereka mau berkorban. Garam juga tidak akan pernah berfungsi jika garam tersebut tidak dilarutkan. Menjadi larut, berarti keluarga katolik harus siap menderita. Dalam kehidupan sehari-hari, di tempat kerja, dalam kumpulan, STM, adat dan lingkungan keluarga katolik harus membuka diri, tidak eksklusif, ikut terlibat di dalamnya tanpa kehilangan identitas kekatolikannya. Seperti lilin harus terbakar, demikianlah keluarga Kristen rela menderita demi kebahagiaan dan kesejahteraan bersama. Menjadi terang bagi sesama tampak dalam kesediaan dan keberanian melawan praktek hidup bersama yang bertentangan dengan kehendak Tuhan dan ajaran iman. Sedikit garam bisa membuat makanan menjadi lezat dan enak. Secercah cahaya dapat mengusir kegelapan malam dan ruangan. Demikian juga menjadi garam dan terang, walaupun keluarga-keluarga katolik menjadi minoritas, sedikit dan kecil hendaknya tidak takut dan rendah diri. Nilai hidup keluarga katolik tidak ditentukan oleh jumlahnya semata tetapi terutama oleh kualitas hidup mereka. Keluarga katolik dapat mengubah masyarakat menjadi lebih baik dengan perbuatan-perbuatan kecil yang dilakukan dengan cinta yang besar.